Sangatlah miris dan memprihatinkan melihat penderitaan yang dialami Supriono, tidak selayaknya dia mendapat perlakuan seperti itu.
Beban
yang dialaminya sangatlah berat dengan statusnya sebagai pemulung yang
berpenghasilan dibawah rata-rata tiap harinya dia harus berjuang
bertahan hidup melawan kerasnya hidup di Ibukota, ditambah lagi dengan
harus kehilangan putranya yang meninggal dunia karena sakit.
Sudah
harus kehilangan putranya, Supriono mendapatkan perlakuan yang tidak
wajar dari pihak rumah sakit yaitu tidak mendapatkan fasilitas ambulan
dari rumah sakit untuk menghantarkan jenazah putranya ke pemakaman
dengan alasan tidak mempunyai uang untuk membayar biaya ambulan,
sehingga harus membopong jenazah putranya dengan naik kereta api.
Seharusnya
pihak rumah sakit pun mengerti dengan keadaan Supriono sebagai orang
yang tidak mampu dengan tidak membiarkan membopong jenazah putranya
sendiri, tetapi seharusnya menyediakan ambulan untuk menghantarkan
sampai ke tempat pemakaman.
Tidak sepantasnya Supriono mendapat perlakuan seperti ini, dimanakah hati nurani pihak rumah sakit dan pemerintah melihat kasus seperti ini.
Psikolog Sartono Mukadis
menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan
peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat
pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama.
http://anotherpaths.blogspot.com/2011/12/kisah-pemulung-dengan-gerobak-mayat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar